Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Membaca Kepintaran Sebagai Abstraksi Psikologi Kognitif

11 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Tability \xb7 Terjemahan 54 contoh tujuan SMART profesional untuk pekerjaan
Iklan

***

 

Ahmad Wansa Al-faiz


Dalam peribahasa “ikan tidak bisa dinilai dari kemampuannya memanjat pohon”, demikian pula seorang anak tidak bisa dipaksa berprestasi dalam arena yang sama sekali bukan ranah potensinya. Metafora “burung yang dipaksa menjadi ikan” mencerminkan bagaimana sistem sosial, terutama pendidikan, kerap menuntut anak untuk menyesuaikan diri pada standar kognitif yang tidak sesuai dengan bakat dominan maupun habitat perkembangan mereka.

Habitus dan Kognisi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep habitus sebagai struktur mental dan sosial yang terbentuk dari pengalaman hidup seseorang[1]. Habitus bukan sekadar kebiasaan, melainkan kerangka disposisi yang membentuk cara berpikir, merasa, dan bertindak. Jika diterapkan pada psikologi kognitif, habitus dapat dipahami sebagai lingkungan batin yang mengarahkan bagaimana potensi kognitif anak berkembang.

Seorang anak yang tumbuh dalam keluarga literasi kuat akan memiliki habitus membaca yang membentuk dominasi kognitif linguistik. Sebaliknya, anak dari keluarga nelayan atau petani mungkin lebih dominan dalam kecerdasan naturalis dan spasial. Sayangnya, sistem pendidikan yang seragam sering gagal menghargai keragaman habitus ini.

Habitat Sebagai Penentu Potensi.

Psikologi kognitif modern, melalui teori -multiple intelligences- Howard Gardner, menegaskan bahwa setiap anak memiliki profil kecerdasan yang unik[2]. Potensi ini berkembang jika ditempatkan dalam habitat yang sesuai. Burung akan optimal di udara, ikan akan berkembang di air. Namun, jika habitatnya tidak sesuai, potensi itu tertekan, bahkan dianggap cacat.

Fenomena di Indonesia banyak memperlihatkan hal ini. Seorang anak yang gemilang di seni musik daerah dianggap kurang berprestasi karena nilai matematikanya rendah. Atau seorang remaja yang cekatan dalam otomotif di SMK sering dipandang sebelah mata dibanding siswa SMA yang berorientasi akademik. Padahal, habitat pendidikan formal sering kali lebih memberi ruang pada kecerdasan linguistik dan logis-matematis, sambil mengabaikan potensi lain yang sama berharga.

Core Psikologi Behavior : Fondasi Habitat Kognitif.

Untuk memahami lebih jauh, kita bisa memperkenalkan istilah core psikologi behavior  sebagai fondasi dasar kecerdasan dalam habitat kognitif anak. Core psikologi behavior merujuk pada pola perilaku bawaan (misalnya rasa ingin tahu, dorongan eksplorasi, cara menghadapi tantangan) yang menjadi titik awal perkembangan potensi.

Dalam perspektif behaviorisme klasik (Watson, Skinner), perilaku dipengaruhi stimulus-respons. Tetapi dalam kerangka kognitif core behavior  ini bisa dilihat sebagai  modal dasar  yang kemudian dipengaruhi habitus dan lingkungan sosial. Jika core behavior anak yang dominan adalah motorik-eksploratif, maka habitat pendidikan yang hanya menekankan duduk diam dan menghafal justru akan mengekang potensi itu. Dengan demikian core psikologi behavior berfungsi sebagai benih awal; habitus sebagai lahan dan pendidikan sebagai iklim yang menentukan apakah potensi itu tumbuh subur atau justru layu.

Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar pujian atau label, “Dia pintar.” Namun, apakah pintar itu sungguh-sungguh ada sebagai sesuatu yang nyata, atau sekadar bayangan konseptual yang kita sepakati bersama? Ungkapan pintar itu fiktif menantang cara kita memahami kepintaran, bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menyadarkan bahwa ia lebih dekat kepada  abstraksi kognitif  ketimbang realitas objektif.

Pintar sebagai Abstraksi Mental

Psikologi kognitif menekankan bahwa pikiran bekerja melalui konstruksi, bukan sekadar refleksi. Jean Piaget (1896–1980) menjelaskan bahwa kecerdasan berkembang melalui tahapan konstruktif: sensori-motorik, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal[1]. Artinya, kepintaran tidak pernah hadir begitu saja, melainkan hasil proses perkembangan mental yang abstrak dan bertahap. Howard Gardner (1983) dalam teori - multiple intelligences - bahkan menolak gagasan tunggal tentang kepintaran. Menurutnya, ada banyak bentuk kecerdasan: linguistik, musikal, logis-matematis, kinestetik, spasial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis[2]. Dengan demikian, kepintaran hanyalah “nama payung” bagi keragaman kapasitas manusia yang tak dapat direduksi pada satu standar.

Relativitas Sosial Kepintaran.

Lev Vygotsky (1896–1934) menunjukkan bahwa proses belajar dan kepintaran selalu terikat pada kerangka sosial-kultural. Konsep zone of proximal development (ZPD) menegaskan bahwa kemampuan seorang anak hanya dapat dipahami sejauh interaksi dengan orang lain dan lingkungannya[3]. Dari sini jelas bahwa pintar bukanlah entitas individual yang mutlak, melainkan produk relasi sosial. Jika dalam masyarakat agraris pintar diukur dari kemampuan membaca musim atau mengolah tanah, maka di masyarakat digital ia lebih sering dilekatkan pada kecakapan komputasi atau berpikir kritis. Standar ini terus berubah. Kepintaran, dengan demikian, adalah fiksi sosial yang cair dan kontekstual .

Fiksi yang Berguna

Menyebut pintar itu fiktif bukan berarti menolak adanya perbedaan kemampuan kognitif antarindividu. Fiksi di sini dipahami sebagai fiksi fungsional mirip dengan konsep uang atau negara yang tidak berwujud material, tetapi memiliki kekuatan nyata karena disepakati bersama[4]. Kepintaran adalah kategori mental yang dipakai untuk menata realitas sosial, mendistribusikan kesempatan, bahkan menentukan arah pendidikan.

Pintar dan Dungu 

Dalam keseharian, kita kerap mendengar dua label yang saling berlawanan “anak itu pintar” dan “anak itu dungu.” Kedua istilah ini begitu kuat digunakan hingga tampak seolah nyata dan objektif. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, baik pintar maupun dungu ternyata hanyalah kategori abstrak konsep fiktif yang lahir dari penilaian sosial dan konstruksi psikologis.

Oposisi Biner dan Relativitas Label.

Pintar dan dungu bekerja sebagai oposisi biner. Seseorang disebut pintar hanya karena ada orang lain yang dibandingkan dengannya dan diberi label dungu. Artinya, keduanya tidak memiliki makna esensial yang berdiri sendiri, tetapi bergantung pada relasi dan perbandingan.

Dalam antropologi struktural, Claude Lévi-Strauss menegaskan bahwa manusia membangun makna melalui oposisi seperti tinggi-rendah, benar-salah, pintar-dungu[1]. Dengan demikian dungu tidak pernah mutlak. Ia ada karena standar yang dipakai untuk menilai. Anak yang dianggap dungu di kelas matematika bisa dianggap pintar dalam seni atau musik. Hal ini selaras dengan teori multiple intelligences - Howard Gardner yang menolak gagasan tunggal tentang kepintaran[2].

Abstraksi Kognitif dalam Psikologi.

Jean Piaget menjelaskan bahwa kecerdasan tidak datang sebagai sesuatu yang statis, melainkan hasil konstruksi bertahap dari interaksi anak dengan lingkungannya[3]. Dari perspektif ini, baik pintar maupun dungu hanyalah - abstraksi evaluatif - atas proses perkembangan kognitif yang selalu bergerak. Lev Vygotsky menambahkan dimensi sosial dalam teori zone of proximal development - (ZPD). Seorang anak mungkin tampak dungu jika dibiarkan sendiri, tetapi bisa menunjukkan kecerdasan luar biasa ketika mendapat dukungan sosial yang tepat[4]. Artinya, label dungu tidak mengungkap realitas kognitif sejati, melainkan hanya mencerminkan keterbatasan konteks sosial dan pedagogis.

Efek Nyata dari Fiksi

Meskipun abstrak, label pintar dan dungu memiliki efek nyata. Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson membuktikan melalui eksperimen klasik - Pygmalion in the Classroom - bahwa ekspektasi guru terhadap siswa dapat membentuk prestasi siswa itu sendiri[5]. Anak yang dicap pintar cenderung menunjukkan performa lebih baik, sementara yang dicap dungu justru mengalami penurunan motivasi.

Stephen Jay Gould dalam The Mismeasure of Man  juga mengkritik cara tes IQ dipakai untuk memberi label seolah-olah objektif, padahal sesungguhnya sangat bias secara budaya dan kelas sosial [6]. Hal ini menunjukkan bahwa kategori pintar dan dungu lebih merupakan produk sistem sosial daripada ukuran universal atas kapasitas mental manusia.

Bahaya Otoritas Label

Masalah muncul ketika fiksi pintar dan dungu diperlakukan seolah-olah hakikat. Sekolah, pekerjaan, bahkan kebijakan negara bisa memperlakukan label itu sebagai dasar distribusi kesempatan. Hasilnya adalah diskriminasi, ketidakadilan pendidikan, hingga eksklusi sosial. Padahal, dalam kerangka psikologi kognitif, setiap individu selalu membawa potensi untuk berkembang melalui pembelajaran dan adaptasi.

Penutup

Jika kita menerima bahwa pintar itu fiktif maka kita akan lebih bijak dalam menggunakannya: tidak memutlakkan satu standar, tidak mendiskriminasi mereka yang dianggap tidak pintar dan lebih menghargai keragaman cara manusia berpikir. Dalam kerangka psikologi kognitif, pintar hanyalah label abstrak atas proses mental yang dinamis, adaptif, dan sangat kontekstual.

Ungkapan pintar itu fiktif pada akhirnya mengingatkan kita bahwa kepintaran bukanlah benda yang dimiliki, melainkan cerita kolektif  tentang bagaimana kita memandang, mengukur, dan memberi nilai pada kapasitas berpikir manusia.

Dan pada prinsipnya, bahwa, mengapresiasi dan mengatakan anak "pintar" memungkinkan memainkan peranaan yang menghambat tumbuh kembang kemajuan integritas mental anak, seperti dalam metafora “burung yang dipaksa menjadi ikan” adalah kritik terhadap sistem sosial dan pendidikan yang terlalu seragam. Psikologi Habitus membuka ruang bagi pemahaman baru: anak-anak berkembang bukan di ruang hampa, melainkan dalam habitat yang meninjau dan mengarahkan potensi dominannya. Sebab, juga, adalah bahwa, pendidikan adalah tujuan dari ranah produktifitas yang membangun kesadaran individu di masa mendatang, bukan sebagai suatu sarana dalam memberi penilaian dalam arti melampaui integritas anak dalam mengelola potensi dasar dari kognisi mereka (baca, basic core psikologi berhavior). 

Jika pendidikan terus memaksa burung untuk berenang, ia hanya akan tampak gagal. Tetapi jika kita mengakui  core psikologi behavior sebagai dasar kecerdasan, lalu menempatkan anak dalam habitat yang sesuai, maka burung akan terbang, ikan akan berenang, dan anak-anak akan tumbuh dengan kepintaran yang otentik sesuai disposisi mereka.

Dengan demikian pintar dan dungu sama-sama merupakan fiksi abstrak yang digunakan manusia untuk mengukur, membandingkan, dan memberi nilai pada kapasitas berpikir. Keduanya tidak menunjuk realitas objektif, melainkan narasi kolektif yang berfungsi dalam tatanan sosial.

Menyadari sifat fiktif ini bukan berarti menolak perbedaan kemampuan kognitif, melainkan menolak absolutisasi label. Yang lebih penting adalah membuka ruang bagi keragaman kecerdasan, memandang perkembangan kognitif sebagai proses, dan menghindari diskriminasi yang lahir dari fiksi yang kita ciptakan sendiri.

 

Catatan Kaki

[1]: Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology (New York: Basic Books, 1963).

[2]: Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences* (New York: Basic Books, 1983).

[3]: Jean Piaget, The Psychology of Intelligence (London: Routledge & Kegan Paul, 1950).

[4]: Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978).

[5]: Robert Rosenthal & Lenore Jacobson, Pygmalion in the Classroom (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968).

[6]: Stephen Jay Gould, The Mismeasure of Man (New York: Norton, 1981).

 

Daftar Pustaka

  • Gardner, Howard. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books, 1983.
  • Gould, Stephen Jay. The Mismeasure of Man. New York: Norton, 1981.
  • Lévi-Strauss, Claude. *Structural Anthropology. New York: Basic Books, 1963.
  • Piaget, Jean. The Psychology of Intelligence. London: Routledge & Kegan Paul, 1950.
  • Rosenthal, Robert, and Lenore Jacobson. Pygmalion in the Classroom. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1968.
  • Vygotsky, Lev. Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978.

 

 

Catatan Kaki

[1]: Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977).

[2]: Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983).

Daftar Pustaka

  • Bourdieu, Pierre. *Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press, 1977.
  • Gardner, Howard. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books, 1983.
  • Skinner, B. F. Science and Human Behavior. New York: Macmillan, 1953.
  • Watson, John B. Behaviorism. New York: Norton, 1925.

Catatan Kaki

[1]: Jean Piaget, The Psychology of Intelligence (London: Routledge & Kegan Paul, 1950).

[2]: Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983).

[3]: Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978).

[4]: Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (London: Vintage, 2014), bab 2–3.

 

Daftar Pustaka

  • Gardner, Howard. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books, 1983.
  • Harari, Yuval Noah. Sapien: A Brief History of Humankind. London: Vintage, 2014.
  • Piaget, Jean. The Psychology of Intelligence. London: Routledge & Kegan Paul, 1950.
  • Vygotsky, Lev. Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Jurnal Mitigasi Litigasi - Supervisi Sosial Dan Politik

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler